Tegal – Bedah buku Kardinah karya Yono Daryono digelar di Pendopo Ki Gede Sebayu oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tegal, Selasa (28/5) sore. Tidak tanggung-tanggung Wijanarto seorang pakar sejarah dihadirkan langsung untuk membedah isi dari buku Kardinah.
Bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya, ketika mendengar kata Kardinah maka masyarakat umum dalam pikiranya sepintas bahwa Kardinah adalah nama rumah sakit saja. Menurut Yono Daryono masih banyak orang yang tidak tahu bahwa Kardinah seorang pejuang, keberadaan Kartini tidak lepas dari peran serta dari Kardinah dan Roekmini.
‘’Mereka berjuang untuk kesetaraan gender, Kardinah layak menjadi teladan dan menurut saya layak jadi pahlawan, sementara pemerintah hanya memberikan penghargaan tahun 1969 Perintis Kemerdekaan Bakti Sosial, bagaimana ia menggerakan wanita di Tegal untuk berkarya untuk membuat batik, membuat kerajinan itu yang menarik menurut saya,’’ ujar Yono Daryono.
Seorang sejarawan Wijanarto berpendapat Tegal memiliki setting lokal yang diperhitungkan di panggung sejarah Indonesia karena terdapat momentum sejarah, ada personal atau tokoh sejarah yang mempengaruhi dinamika perkembangan kesejarahan di Indonesia salah satunya Kardinah.
‘’Meskipun Kardinah di Tegal itu dalam waktu relatif tidak lama, artinya ketika dia menjadi istri Bupati Tegal RM Reksoharjono dan kemudian sampai tahun 45 meletus peristiwa tiga daerah, tapi fase itu menjadikan Tegal sangat berarti bagi dinamika peristiwa penting terutama sejarah feminisme di Indonesia, karena kardinah sudah melakukan langkah maju ketimbang kakaknya Kartni yang diberi usia cukup singkat dalam melakukan kegiatan, Kardinah cukup lama kalau tidak salah meninggal tahun 79 dan dimakamkan di Tegal,’’ ujar Wijan.
Satu hal terkait pendidikan, Kardinah mendirikan sekolah kepandaian putri yakni Wisna Pranowo, salah satu yang berbeda dengan sekolah Kartini yaitu bila Kartini mengandalkan simpatisan sahabat yang di Belanda, kalau Kardinah melakukan kegiatan dengan swadaya yang dilakukan sewaktu menjadi istri bupati, serta kemudian ada beberapa pendanaan yang dipikul bersama, kemudian sekolah ini menjadi rujukan dari tokoh tokoh pendidikan waktu itu diantaranya Dewi Sartika, sebelum membuat sekolah putri di Garut dia melakukan study banding di Tegal di Wisna Pranowo dan ada aktifis dan tokoh pendidikan lainnya.
‘’Selain seting lokal yang penting arti dari buku study tentang Kardinah ini membuktikan bahwa Tegal menjadi referensi bagi pergerakan feminisme, bahwa Kardinah dan Roekmini melanjutkan cita-cita kakakny, Kardinah di Tegal, Roekmini di kudus. Sama-sama melakukan itu, ketiganya adalah putri bangsawan yang beredukasi, memiliki kesadaran yang tinggi, memiliki jiwa pembrontakan terutama perlawanan nilai kultur tradisi yang bagi dia membelanggu, walaupun kita ketahui juga Kardinah harus takluk harus menerima pinangan patih Pemalang yang kemudian bupati, pada waktu itu duda dengan dua orang anak,’’ kata Wijan.
Wijanarto juga menyimpulkan bawha menulis sejarah tidak hanya menjadi monopoli sejarawan akademis, karena sejarawan otodidak seperti Yono Daryono cukup penting kita bicarakan karena ia banyak mewarisi karya-karya selain Kardinah, ada juga Tegal Stad, lakon naskah drama sejarah Tegal seperti Mbah Panggung, Martoloyo contoh penting kehadiran sejarawan otodidak.